Clickindonesia.id || JAKARTA – Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-KPK) kembali menyoroti Tata Kelola Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang kian carut-marut akibat adanya Regulasi dari Peraturan Kepala BP2MI No.9 Tahun 2020.
Peraturan tersebut yang meninterprestasikan Komponen Biaya Penempatan yang berakibat pada Penjeratan Utang terhadap Pekerja Migran Indonesia dan membuat para pelaku Penempatan (P3MI) terjebak overcharging, inilah Biang kerok permasalahan yang harus segera di revisi.
Selain dari Regulasi, Menurut Wasekjend 1 Komnas LP-KPK Amri Piliang mengatakan bahwa Mesin produksi Sumber Daya Manusia / Balai Latihan Kerja (BLK) atau Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang mencetak para PMI berkompetensi juga hal paling krusial yang tidak dapat dipisahkan dalam perbaikan Tata Kelola Penempatan Pekerja Migran Indonesia ke Luar Negeri.
“Saat ini Kita harus berkaca diri melihat Realita dan mulai menghitung secara matematika untuk membuka penempatan seluas-luasnya dengan berbasis Kompetensi. Artinya disini harus ada kejelasan peran Binalavotas Kemnaker RI dalam menyiapkan para pekerja migran indonesia yang memiliki kompetensi siap kerja setiap bulannya dan harus mulai di Inventarisir jumlah BLKLN milik pemerintah dan swasta yang terakreditasi untuk menghitung jumlah angkatan kerja bagi PMI yang siap untuk ditempatkan dan di proses oleh P3MI” ujar Amri
“Jangan kita bermimpi untuk membuka penempatan seluas-luasnya jika Binalavotas tidak mampu menyiapkan infrastruktur pelatihan seperti tempat pelatihan atau Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) yang terakreditasi, Cost Structure biaya pelatihan, silabus, jumlah jam tatap muka hingga ujian kompetensi dan sertifikasi,” kata Amri wasekjen lpkpk
Lanjut Amri,”Bagaimana mungkin kita mampu menempatkan puluhan ribu PMI untuk mengurangi pengangguran di dalam negeri jika infrastruktur pelatihan hanya mampu memproduksi PMI 500 orang perbulannya, berarti sisanya adalah Non prosedural / jualan sertifikat kompetensi, Pelatihan nya asal-asalan sambil menjelang visa turun,” tungkasnya
Disinilah peran Binwasnaker agar mewajibkan semua BLKLN membuat Wajib lapor Ketenagakerjaan secara berkala setiap bulan dan dicocokkan denga AN05 yang ditempatkan oleh P3MI, pasti jumlahnya akan lebih banyak yang tercatat di AN05 daripada di wajib lapor ketenagakerjaan, ini artinya pemerintah yang gagal menyiapkan infrastruktur nya karena dalam perintah Pasal 39, 40, 41 UU No.18 Tahun 2017 pelatihan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan Pemda baik Propinsi maupun kabupaten/kota,”
Amri juga menyarankan kepada Komisi IX DPR-RI harus segera melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan mengundang Binalavotas, Binapenta, Binwasnaker dan Swasta untuk mencari formula baru sebagai solusi pembiayaan pelatihan dikala pemerintah belum mampu menyiapkan biaya pelatihan dan instruktur pelatihan dalam BLKLN milik pemerintah yang bekerja sama dengan Swasta nantinya, sehingga sebelum kita bicara penempatan, kita harus siapkan kemampuan mesin produksi untuk menghasilkan PMI yang memiliki kompetensi,”jelas Amri.
Termasuk juga BLKLN yang khusus melaksanakan pelatihan untuk Penempatan dengan Skema G to G, harus memenuhi standarisasi dan ketentuan Undang-undang beserta regulasi turunannya. Jangan kita hanya sibuk menilai kepada Pelatihan yang dilakukan oleh pihak swasta, bermacam penilaian terhadap BLKLN yang tidak memenuhi syarat dan kelayakannya, tetapi banyak LPK-LPK yang melaksanakan pelatihan untuk skema G to G juga banyak yang tidak layak dan tidak memenuhi standard,
Mari kita diskusikan bersama masalah infrastruktur PMI Berbasis kompetensi, daripada demo, yang tidak memghasilkan apapun, para pendemo justru tidak paham tata kelola penempatan PMI, bagaimana mungkin akan dibuka penempatan seluas-luasnya jika yang ditempatkan tidak mengikuti pelatihan dan tidak memiliki kompetensi, banyak BLKLN hanya jualan sertifikat demi untuk mengejar keuntungan dan kuantitas penempatan semata, bukan kualitas.
Selain itu Evaluasi BLK Komunitas yang menghabiskan uang Negara 1 Miliar untuk setiap BLK seharusnya dapat dimanfaatkan untuk Pelatihan bagi Calon Pekerja Migran Indonesia. Jika masih Kurang, Pemerintah harus menunjuk BLK Swasta yang terakreditasi sesuai perintah UU.
Setiap Penandatanganan Job Order harus disertai rencana pelatihan nya, sehingga berapa bulan quotanya akan bisa terpenuhi oleh PMI yang memiliki kompetensi berhasil ditempatkan ke masing-masing negara penempatan, karena kita tidak boleh menempatkan PMI tanpa memiliki Kompetensi. Dan setiap Negara Penempatan bisa diukur dengan jumlah & kapasitas BLKLN yang menghasilkan PMI Kompeten. utamakan kualitas PMI dengan menyiapkan infrastruktur nya agar menghasilkan PMI yang kompeten dan bermartabat,”pungkas Amri.