Penempatan PMI Berbasis Kompetensi adalah Solusi Terbaik Cegah Penempatan Non Prosedural / TPPO
Clickindonesia.id, JAKARTA,- Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (Komnas LP-KPK) kembali menyoroti Tata Kelola Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang kian carut-marut akibat adanya Regulasi dari Peraturan Kepala BP2MI No.9 Tahun 2020 yang salah kaprah meninterprestasikan Komponen Biaya Penempatan yang berakibat pada Penjeratan Utang terhadap Pekerja Migran Indonesia dan membuat para pelaku Penempatan (P3MI) terjebak overcharging, inilah Biang kerok segala permasalahan yang harus segera di revisi, apapun kepka turunan yang di buat BP2MI akan selalu bertentangan dengan UU No.18 Tahun 2017.
Selain dari Regulasi, Menurut Wasekjend 1 Komnas LP-KPK Amri Piliang mengatakan bahwa kapasitas Balai Latihan Kerja (BLK) atau Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) untuk memberikan Pengetahuan dan keterampilan para PMI agar memiliki kompetensi juga hal paling krusial yang tidak dapat dipisahkan dalam perbaikan Tata Kelola Penempatan Pekerja Migran Indonesia ke Luar Negeri.
Menurut Komnas LP-KPK saat ini Kita harus berkaca diri melihat Realita dan mulai menghitung secara matematika untuk membuka penempatan seluas-luasnya dengan berbasis Kompetensi.
Artinya disini harus ada kejelasan peran Binalavotas Kemnaker RI dalam menyiapkan para pekerja migran indonesia yang memiliki kompetensi siap kerja setiap bulannya dan harus mulai di Inventarisir jumlah BLKLN milik pemerintah dan swasta yang terakreditasi untuk menghitung jumlah angkatan kerja bagi PMI yang siap untuk ditempatkan dan di proses oleh P3MI.
Jangan kita bermimpi untuk membuka penempatan seluas-luasnya jika Binalavotas tidak mampu menyiapkan infrastruktur pelatihan bagi PMI seperti tempat pelatihan atau Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) yang terakreditasi, Cost Structure biaya pelatihan, silabus, jumlah jam tatap muka hingga ujian kompetensi dan sertifikasi, ujar Amri.
Bagaimana mungkin kita mampu menempatkan puluhan ribu PMI untuk mengurangi pengangguran di dalam negeri jika infrastruktur pelatihan hanya mampu Melatih PMI 500 hingga 1000 orang perbulannya, berarti sisanya adalah Non prosedural atau jualan sertifikat kompetensi, Pelatihan nya asal-asalan sambil menjelang Kontrak Kerja dan visa turun, Kata Amri.
Disinilah harus ada peran Binwasnaker dalam melakukan Pengawasan terhadap semua BLKLN dengan membuat Wajib lapor Ketenagakerjaan secara berkala setiap bulan dan dicocokkan dengan AN05 yang ditempatkan oleh P3MI, pasti jumlahnya akan lebih banyak yang tercatat pada AN05 daripada di wajib lapor ketenagakerjaan, ini artinya pemerintah yang gagal menyiapkan infrastruktur nya karena dalam perintah Pasal 39, 40, 41 UU No.18 Tahun 2017 pelatihan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan Pemda baik Propinsi maupun kabupaten/kota, Kata Amri.
Amri juga menyarankan kepada Komisi IX DPR-RI harus segera melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan mengundang Binalavotas, Binapenta, Binwasnaker dan Swasta untuk mencari formula baru sebagai solusi pembiayaan pelatihan dikala pemerintah belum mampu menyiapkan biaya pelatihan dan instruktur pelatihan dalam BLKLN milik pemerintah yang bekerja sama dengan Swasta nantinya, sehingga sebelum kita bicara penempatan, kita harus siapkan kemampuan kapasitas BLKLN sebagai tempat Pelatihan dan keterampilan untuk menghasilkan SDM yang memiliki kompetensi bagi PMI, jelas Amri.
Pengawasan juga harus dilakukan kepada BLKLN yang khusus melaksanakan pelatihan untuk Penempatan dengan Skema G to G, harus memenuhi standarisasi dan ketentuan Undang-undang beserta regulasi turunannya.
Jangan kita hanya sibuk menilai kepada Pelatihan yang dilakukan oleh pihak swasta, bermacam penilaian terhadap BLKLN yang tidak memenuhi syarat dan kelayakannya, tetapi banyak LPK-LPK yang melaksanakan pelatihan untuk skema G to G juga banyak yang tidak layak dan tidak memenuhi standard, terang Amri.
Mari kita diskusikan bersama masalah infrastruktur PMI Berbasis kompetensi, daripada demo yang mengatadnamakan Mahasiswa padahal mereka adalah sponsor penempatan ilegal yang di bayar oleh para bandar Sindikat Mafia TPPO yang masih bisa berkeliaran dan semakin sempit Sepak terjangnya yang hanya menginginkan Penempatan Non Prosedural tetap berjalan tanpa adanya Pelatihan dan Kompetensi, para pendemo justru tidak paham tata kelola penempatan PMI, bagaimana mungkin akan dibuka penempatan seluas-luasnya jika yang ditempatkan tidak mengikuti pelatihan dan tidak memiliki kompetensi, banyak BLKLN hanya jualan sertifikat demi untuk mengejar keuntungan dan kuantitas penempatan semata, bukan kualitas.
Selain itu Evaluasi BLK Komunitas yang menghabiskan uang Negara 1 Miliar untuk setiap BLK seharusnya dapat dimanfaatkan untuk Pelatihan bagi Calon Pekerja Migran Indonesia.
Jika masih Kurang, Pemerintah harus menunjuk BLK Swasta yang terakreditasi sesuai perintah UU.
Setiap Penandatanganan Job Order harus disertai rencana pelatihan nya, sehingga berapa bulan quotanya akan bisa terpenuhi oleh PMI yang memiliki kompetensi berhasil ditempatkan ke masing-masing negara penempatan, karena kita tidak boleh menempatkan PMI tanpa memiliki Kompetensi. Dan setiap Negara Penempatan bisa diukur dengan jumlah & kapasitas BLKLN yang ada yang menghasilkan PMI Kompeten dan bermartabat, pungkas Amri. (Red)