Site icon Click Indonesia

Aksi Pembotakan Siswi SMPN 1 Sukodadi Lamongan, LBH: Lawan Impunitas Kasus Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Satuan Pendidikan

Foto : Suasana mediasi usai 19 siswi dibotaki gurunya sendiri di SMPN 1 Sukodadi, Lamongan

CLICKINDONESIA.ID || SURABAYA – YLBHI-LBH Surabaya mengecam keras aksi pembotakan rambut terhadap belasan siswi kelas IX SMPN 1 Sukodadi Lamongan yang dilakukan oleh oknum guru EN pada Rabu, 23 Agustus 2023. EN diketahui membotaki rambut bagian depan para siswi dengan mesin cukur karena mereka mengenakan jilbab tanpa ciput.

Padahal, menurut Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya, Habibus Shalihin pada keterangannya Rabu (30/8/2023), tidak ada aturan sekolah yang mewajibkan para siswi harus mengenakan ciput di SMPN 1 Sukodadi.

Berdasarkan pemantauan media yang dilakukan oleh YLBHI-LBH Surabaya, wali murid memprotes tindakan guru tersebut sehingga pihak sekolah menggelar mediasi antara EN dengan 10 wali murid korban pembotakan pada 24 Agustus 2023.

Hingga saat ini, EN hanya mendapat sanksi pembinaan non-job dari Dinas Pendidikan Lamongan, yaitu EN ditarik di Diknas dengan status tanpa jabatan dan tidak diperbolehkan mengajar di SMPN 1 Sukodadi hingga waktu yang tidak ditentukan. Namun, hal ini tak menutup kemungkinan EN dapat kembali mengajar di sekolah tersebut apabila para korban menerima kembali kehadirannya.

Berkaitan dengan kasus ini, perlu dicermati bahwa salah satu perwujudan prinsip The Right to Survival and Development atau hak untuk hidup dan berkembang bagi anak adalah setiap anak dalam memperoleh hak atas pendidikan termasuk ketika anak berada di dalam lingkungan satuan pendidikan agar terhindar dari tindak kekerasan fisik maupun psikis yang berpotensi dilakukan oleh elemen-elemen yang ada pada lingkungan satuan pendidikan seperti pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Melihat bagaimana aksi pembotakan terhadap para siswi di SMPN 1 Sukodadi Lamongan menunjukkan bahwa, upaya perlindungan anak dari kekerasan fisik berakibat pada kondisi psikis anak yang menjadi korban tindakan pembontakan rambut bagian depan yang dilakukan pihak sekolah, khususnya oleh guru berinisial EN yang melakukan aksi kekerasan tersebut. Padahal, seharusnya lingkungan sekolah menjadi ruang aman bagi anak untuk mendapatkan penikmatan atas hak pendidikan.

“Selain itu, perlu dipahami bersama bahwa, tindakan EN dalam kasus ini yang secara paksa melakukan aksi pembotakan rambut bagian depan siswi-siswinya termasuk ke dalam bentuk kekerasan. Terjadinya kasus ini justru mencoreng martabat kemanusiaan anak,” tegasnya.

Bukan tidak mungkin kemudian EN yang melakukan kekerasan tersebut telah melanggar Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014), yaitu “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”.

“Kekerasan yang dimaksud dalam UU perlindungan anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum,” ungkapnya.

Dalam kasus ini, negara dalam hal ini pemerintah menurut Pasal 59 UU 35/2014 berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah menegakkan sanksi.

“Sehubungan dengan hal tersebut, maka sanksi yang dapat dikenakan oleh guru tersebut mengacu pada Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah),” tegas dia.

Tindakan pembotakan yang dilakukan oleh EN terhadap peserta didiknya itu juga dikategorikan sebagai kekerasan fisik dan kekerasan psikis menurut Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek 46/2023).

“Perbuatan EN yang melakukan pencukuran rambut paksa terhadap para siswi berjilbab tersebut merupakan kekerasan fisik karena terjadi kontak fisik antara EN dengan para siswi korban pencukuran rambut dengan alat bantu mesin cukur. Tindakan pencukuran rambut paksa ini juga merupakan bentuk kekerasan psikis karena berakibat merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman bagi para siswi korban,” jelas Shalihin.

Di sisi lain, menurut Pengacara Publik LBH Surabaya, Yaritza Mutiaraningtyas, sejatinya atribut ciput bagi siswi SMP berjilbab bukan merupakan bagian dari pakaian seragam sekolah bagi Peserta Didik SMP berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

“Oleh karenanya, pemaksaan penggunaan ciput yang dilakukan oleh EN juga termasuk kategori tindakan intoleransi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b angka 1 Permendikbudristek 46/2023 karena memaksa peserta didik mengenakan pakaian atau aksesoris yang tidak termasuk seragam sekolah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan,” tutur Mutiara.

Atas kejadian ini, YLBHI-LBH Surabaya menyatakan sikap:

1) Mendesak Polres Lamongan untuk segara mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku dan memastikan keadilan bagi korban. Tindakan semacam ini tidak hanya merugikan para korban secara fisik dan psikologis, tetapi juga mengancam prinsip-prinsip hak asasi manusia dan perlindungan anak. Perlu ditegaskan pula bahwa tindakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh EN merupakan delik biasa sehingga proses hukum seharusnya tetap dijalankan sebagaimana mestinya;

2) Mendorong sekolah untuk memastikan bahwa setiap siswa-siswi merasa aman dan dihormati dalam lingkungan belajar mereka. Pendidikan bukan hanya tentang pemberian pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan membantu membangun masyarakat yang lebih baik.

3) Mendorong Dinas Pendidikan Lamongan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap lingkungan pendidikan. Lingkungan pendidikan harus menjadi tempat yang aman dan mendukung, di mana para siswa merasa dihargai dan dijaga dari segala bentuk ancaman dan kekerasan. Lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan melindungi hak-hak anak.

4) Mendorong seluruh elemen masyarakat untuk lebih peduli dan melindungi hak-hak anak. Anak-anak adalah amanah yang harus dijaga bersama, dan tindakan melanggar hak mereka tidak boleh dibiarkan terjadi dalam masyarakat yang beradab. (ari)

Exit mobile version